BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
belakang masalah
Dakwah sekarang
menghadapai beragam masalah. Model dakwah pun makin variatif di banding masa
lalu yang hanya dengan model ceramah, khutbah, atau nasiahat. Banyak kemudian
ragam istilah yang berkenaan dengan model dakwah, antara lain : dakwah
cultural, dakwa structural, dakwah pembangunan, dakwah pemberdayaan masyarakat,
dakwah jurnalistik, dan sebagainya. Akan tetapi hingga saat ini perkembangan
kegiatan dakwah tidak didampingi dengan aspek fiqih, sehingga masyarakat
cendrung tidak perduli dengan nila-nila yang seharusnya diperhatikan pada
unsur-unsur dakwah,yakni pendakwah, mitra dakwah, metode dakwah, model dakwah,
media dakwah, dan pesan dakwah. Problematika etis ini penting dibahas,
mengingat saat ini terjadi pertarungan dan benturan peradaban di antara
berbagai pemikiran. Pemikiran islam juga tidak tunggal, tetapi bermacam-macam.
Yang akhirnya, pandangan tentang dakwah islam juga berbeda antara satu pakar
dengan pakar yang lain. Kita melacak perbedaan itu dalam al-quran dan hadits
sebagai sumber hukum dakwah, sehingga
kita mencoba merumusakan kaidah-kaidah fiqih yang dapat membantu memecahkan
masalah dakwah.
Pada fiqih
dakwah akan jelas apa yang menjadi landasan hukum dalam berdakwah, didalam fiqih
dakwah al-quran dan hadist adalah sebagai sumber pesan dan hukum dakwah. Selain
itu pada fiqih dakwah juga akan membahas
hukum berdakwah yang kemudian disana akan jelas apa hukumnya berdakwah dan juga
siapa saja yang harus menjadi pelaku dakwah. Pada option ke tiga ada fiqih
dakwah di antara fiqih yang lain, disana akan terang dimana posisi fiqih dakwah
itu sendiri di antara fiqih-fiqih yang lain. Dan masih banyak lagi seperti,
problematika fiqih dakwah, kaidah-kaidah fiqih dakwah, dan prinsip-prinsip dakwah,
yang akan kami coba jabarkan satu-demi satu dalam makalah ini.
B.
Rumusan
masalah
Banyak orang yang
telah mencoba menjelaskan berbagai macam kaidah-kaidah fiqih dakwah, yang
kemudian meraka telah menulis opini baik itu berupa artikel, maupun bentuk
opini yang lain. Bahkan buku telah banyak terbit yang khusus membahas tentang
fiqih dakwah. Karena itu kami merasa penting membahas fiqih dakwah. Yang Maka
kemudian pada makalah kali ini kami mencoba untuk membahas hal-hal yang khusus
bekenaan tentang fiqih dakwah. Dengan sistimatika pembahasan sebagai berikut :
a.
Al-qur’an
dan hadist sebagai sumber dan hukum dakwah
b.
Hukum
dakwah
c.
Fiqih
dakwah di antara fiqih yang lain
d.
Problematika
fiqih dakwah
e.
Etika-etika
dakwah
f.
Prisip-prisip
dakwah
BAB II
Pembahasan
Istilah fiqih
dakwah mengemuka pada abad 20 dengan lahirnya buku pertama yang ditulis oleh
sayyid qutub. Kitab fiqih ad-dakwah yang ditulisannya tidakn beda dengan
kitab-kitab dakwah yang lainnya. Sebenarnya kitab ini hanya merupakan inti sari
dari tafsir yang juga ditulisnya, yaitu fii dzilalil quran[1].
Sebagaimana
yang telah kami tuliskan dalam muqoddimah, bahwa dalam fiqih dakwah ada
point-point yang menjadi pokok pembahasan dalam fiqih dakwah, yaitu al-qur’an
dan hadist sebagai sumber pesan dan hukum dakwah, hukum dakwah, fiqih dakwah di
antar fiqih yang lain, problematika fiqih dakwah, dan etika-etika dakwah, serta
perinsip-prinsip dakwah. Pada makalah ini kami akan mencoba menjelaskan satu
demi satu point-point di atas.
A.
Al-qur’an
dan hadist sebagai sumber pesan dan hukum dakwah
Pesan dakwah
harus berisi kebenaran semata[2].
Kebenaran oleh para pakar baik itu para ilmuwan, teolog, bahkan pakar filsafat,
dalam menafsirkan kebenaran menjadi polemic public. Hanya saja dalam islam,
menurut prof, ali aziz, dalam bukunya ilmu dakwah, beliau menulis bahwa
kebenaran dibagi menjadi dua, yaitu. Ada kebenaran hakiki dan ada kebenaran
relative, yang dimaksud kebenaran hakiki adalah wahyu yang berasal dari allah
SWT. Dan yang dimaksud kebenaran relative adalah sesuatu yang lahir dari akal
manusia.
Setiap muslim
wajib beriman pada kebenaran wahyu yang allah turunkan. Dan kemudian
mengaplikasikan dalam kehidupan, maksudnya menjalankannya dalam kehidupan
sehari hari dan kemudian mendakwahkannya pada orang lain. Karena kebenaran
wahyu itu hakiki maka ia harus diletakkan pada posisi pertama dan utama,karena
wahyu adalah menjadi alat ukur bagi kebenaran-kebenaran yang lain
Al-qur’an
adalah fiman allah yang diturnkan allah kepada nabi Muhammad SAW. Maka kemudian
kita dapat mengatakan bahwa nabi Muhammad adalah pelaku dakwah (pendakwah), dan
wahyu yang diterima adalah pesan-pesan dakwah yang beliau sampaikan kepada
masyarakat dan para sahbat beliau. Dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah,
pelaku dakwah hendaknya terlebih dahulu menyakini fikih dakwah sebelum
menyampaikan kepada mita dakwahnya.
Untuk bisa
mempraktekkan wahyu allah SWT, kita diperintahkan melihat apa yang diucapkan
dan dilakukan oleh nabi Muhammad. Karena itulah yang di namakan hadist. Tidak
ada alas an bagi manusia untuk berdalih bahwa wahyu allah itu tidak manusiawi,
teorits, konseptual atau melangit. Sebab kehidupan nabi Muhammad sama dengan
kita sebagai manusia biasa. Beliau merasakan lapar ketika tidak makan, sedih
ketika mendapt masalah yang tidak ada penyelesaiannya, berdarah ketika dilempar
batu, membutuhkan tidur setiap malam da sebagainya.semua kehidupan nabi adalah
aturan hukum yang harus diikuti (sunnah). Menurut al-quran, nabi adalah tauladan
yang baik (uswatu hasanah).melalui kehidupan nabi Muhammad islam menjangkau
semua aspek kehidupan manusia. Atas dasar ini, islam tidak mengenal sekularisme
yang memisahkan antara agama dan Negara, ataupun ritual dan social. Seorang
muslim dapat dikatakan pengikut setia nabi Muhammad bila semua kegiatan
hidupnya mulai dari mandi, makan, minim , berpergian, maupun bekerja, ditunjukkan
untuk allah swt. Apalagi jika syarat dan rukunnya terpenuhi.[3]
Seluruh ayat
al-quran dan hadist adalah pesan dakwah. Selain pesan dakwah, dalam al-quran
juga banyak di jelaskan beberapa pola dakwah. Dari kedua sumber ini kita bisa
mengembangkan wacana dakwah secara normative.
Sebenarnya
dasar hukum yang telah disepakati oleh ulama bukan hanya al-quran dan sunnah,
melainkan masih ada dua lagi yaitu, ijma’ dan qiyas. Banyak definisi tentang
ijma’, akan tetapi yang umum ialah kesepakatan para sahabat nabi SAW. Sementara
qiyas adalah menyamakan hukum pada masalah cabang dengan hukum pada masalah
pokok, di karenakan ada illat yang sama.
Dalam
berdakwah, hendaknya pelaku dakwah selain menggunakan al-quran dan hadist
sebagai sumber pesan tapi juga tidak menafikan akal, karena akal digunakan
untuk menafsirkan kebenaran wahyu yang kemudian diolah menjadi pesan dakwah.
Selain itu akal juga bisa digunakan untuk menjaga etika dakwah. Berdasarkan
kemampuan menggali pesan pelaku dakwah dibagi menjadi tiga golongan :
1.
Pendakwah
mujtahid
Yaitu
pendakwah yang memiliki kemampuan sendiri pesan dakwah dari sumber hukum.
2.
Pendakwah
muttabi’
Yaitu
pendakwah yang tidak mempunyai kemampuan seperti kelompok mujtahid tadi. Akan
tetapi mereka hanya mengambil pesan dakwah yang sedah ditafsirkan oleh para ulama,
dengan hanya memahami dalil-dalil serta patuh pada etika dakwah. Cendrung kelompok
yang kedua ini lebih banyak dari pada kelompok yang pertama.
3.
Pendakwah
muqallid
Yaitu pendakwah
yang menyampaikan pesan dakwah tanpa mengetahui dali-dalil yang mendasarinya,
akan tetapi mereka tahu bahwa itu merupakan suatu kebenaran, misalnya ketua RT
yang perduli akan fungsi masjid, sehingga ia selalu menganjurkan warganya untuk
sholat berjamaah.
Para ulama
tidak berselisih tentang beban wajibnya dakwah bagi golongan pertama dan
golongan kedua, aka tetapi mereka berselisih tentang kewaiban dakwah bagi
golongan ke tiga, yaitu yang sedikit sekali mengetahui dalil-dalil ajaran
islam. Lebih lanjutnya, kami akan membahasnya pada hukum berdakwah.
B.
Hukum
berdakwah
Banyak ayat
al-quran yang menguraikan tentang dakwah.di antara ayat dakwah yang berkenaan
tentang wajibnya dakwah, tertuang secara gambalang dan jelas pada surah an-nahl
: 125
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[4]
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk[5]
Ayat diatas
secara tegas memerintahkan pada kita untuk berdakwah, untuk melaksanakan dakwah
islam. Dalam kaidah ushul fiqih disebutkan, pada dasarnya perintah itu
merupakan kewajiban. Dengan demikin sangat jelas bahwa perintah dakwah pada
ayat di atas merupakan perintah wajib dari allah SWT. Ayat di atas merupakan
perintah bagi ummat islam, secara keseluruhan. Ia bersifat umum. Akan tetapi
pada lain ayat ada perintah yang hanya ditujukan pada nabi Muhammad seorang.
Misalnya yang tertuang pada surah al-maidah : 67
*
$pkr'¯»t ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& øs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur ßJÅÁ÷èt z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# w Ïöku tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.
dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.[6]
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Walaupun ayat
di atas merupakan perintah yang hanya ditujukan pada nabi Muhammad SAW, namun
perintah itu juga ditujukan pada seluruh ummat islam. Kaidah ushul fiqih yang
dijadikan dasar dalam hal ini adalah ‘’yang dijadikan pegangan adalah kalimat
yang bersifat umum, bukan pada sebab yang
khusus’’. Dengan kaidah ini seluruh ayat al-quran, tanpa terkecuali
menjadi pedoman untuk seluruh manusia. Perintah dakwah yang dititahkan oleh allah
kepada para nabi juga manjadi perintah dakwah kepada ummat islam. Dengan
pemahaman ini, hampir semua ayat mengandung perintah dakwah.
Al- ghazali
adalah salah satu ulama yang berpendapat bahwa kewajiban dakwah adalah fardu
kifayah. Sebagai fardu kifayah, dakwah hanya dibebankan atas orang-orang yang
memiliki keahlian dan kemampuan di bidang agama islam.[7]
Banyak ulama besar
yang sependapat dengan al-ghazali di antarnya
:ahmad Mahmud, dengan berpendapat bahwa ‘’menegakkan hukum allah SWT,
jihad di jalan allah ‘’fii sabilillah’’, ijtihad, dan amar ma’ruf nahi munkar,
semuanya adalah termasuk hukum fardu kifayah, yang wajib ditegakkan oleh ummat
islam keseluruhan’’. Quraish sihab juga berpendapat senada, beliau
mengkhususkan pada al-quran surah ali imron ayat 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
dan hendaklah
ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[8];
merekalah orang-orang yang beruntung[9]
yang menjadi
penekana oleh qhurais shihab pada ayat ini adalah, pada kata ‘’minkum’’, beliau
mengartikan kata ini dengan arti, sebagian dari kalian, tanpa menafikan
kewajiban setiap muslim untuk saling ingat-mengingatkan. Ibnu katsir juga
demikian, sependapat dengan al-ghazali, dengan mengatakan maksud dari ayat ini
adalah, ‘’agar ada kelompok dari ummat ini yang besedia untuk berdakwah,
meskipun perintah ini wajib bagi setiap individu dari ummat islam sesuai
kemampuannya’’.
Selain ada yang
berpendapat bahwa hukum dakwah itu fardu kifayah. Ada juga yang
mengatakan bahwa hukum dakwah ialah fardu ain’. Yang artunya berdakwah
adalah hukumnya wajib bagi siapa saja yang mengaku diri sebagai muslim.
Al-razi juga
mengemukakan demikian dengan menguatkan argumentasinya dengan al-qur’an pada
surah ali imron : 110
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[10]
M. Natsir mengemukakan,
bahwa tugas dakwah adalah tugas ummat secara keseluruhan, bukan monopoli golongan
yang disebut ulama atau cedik cendikiawan.
Dari kedua
pendapat tentang kewajiban dakwah di atas, ada beberapa ulama yang memedukan
keduanya, hukum berdakwah adalah fardu ain dan kifayah. Pendapat ini diplopori
oleh Muhammad abau zahrah. Menurut abu zahrah, fardu ain melakukan dakwah
secara individu, dan fardu kifayah elakukan dalam dakwah kolektif. Setiap orang
berkewajiban melakukan dakwah indifidual. Kendati demikian, di kalangan ummat
islam harus ada tenaga ahli yang berkaitan dengan dakwah islam.[11]
Berkaitan dengan hukum berdakwah,
kita perlu memperhatikan dua tahapan dakwah :
1.
Tahapan
pertama, adalah tabligh, yakni memperkenalkan islam kepada non muslim atau
kepada masyarakat awam, agar tertarik masuk islam.
2.
Tahapan
kedua, adalah pembinaan ummat islam. Tahapan ini juga tebagi dua tahapan, yang
pertama, membersihkan kebiasaan lama yang buruk dan mensucikannay dengan
kebiasaan baik, tahap kedua, mengajrakan kandungan k itab suci al-quran dan
hadist nabi SAW.[12]
Tahapan pertama
adalah fardu ain, yang harus dipikul oleh setiap orang muslim atau pendakwah
muttabi’ atau mungkin pendakwah muqallid, sedangkan tahap kedua, karena berisaf
mendalam, menjadi tanggungan para ulam atau para mujtahid.
C.
Fiqih
dakwah di antara fiqih-fiqih yang lain
Secara garis
besar, fiqih diklompokkan dalam dua bidang, yaitu, ibada(ritual)h dan muamalah
(sosial). Antara ibadah dan muamalah, terdapat karektristik yang mendasar.
Ibadah berhubungan dengan allah, dan muamalah dengan selain allah.
Dalam
perkembangannya, sehingga muncul istilah-istilah baru yang merujuk pada
maslalah fiqih, antara lain : fiqih kedokteran (terkait dengan masalah medis),
fiqih wanita (masalah kaum permpuan), fiqih keuangan islam (masalah investasi),
dan fiqih dakwah (masalah yang terkait dengan kegiatan dakwah).
Fiqih dakwah
dapat dikelompokkan dalam wilayah muamalah. Oleh karena itu, penjelasan tentang
dakwah dalam al-quran tidak terperinci. Pembahsan hidayah (petunjuk allah)
bukan domain fiqih dakwah. pembahasan ilmu dakwah selama ini, sama sebagaimana
pembahasan ilmu dakwah. Belum sepenuhnya menjelaskan konsepsi fiqih,
sebagaimana dalam definisi fiqih.
Identitas ilmu fiqih
hampir diabaikan dalam buku-buku fiqih dakwah. Yang menjadi pembahasan dalam
buku-buku fiqih dakwah saat ini tentang klarifikasi sasaran dakwah berdasarkan
iman, hidayah, fungsi kenabian, tujuan dakwah, dan fungsi dakwah. Tentu saja
ada pembahasan yang dapat digolongkan sebagai kajian ilmu fiqih. Seperti hukum
dakwah dan persyaratan pendakwah.
Dalam realitas
dakwah, ada aturan yang seharusnya diikuti oleh ummat islam, meski dakwah
sendiri dikategorikan perbuatan baik. Ini yang membedakan dengan ilmu dakwah.
Ilmu dakwah membahas apa adanya tentang kegiatan dakwah, sedangkan fiqih dakwah
membahas apa yang seharusnya dilakukan dalam kegiatan dakwah.jika teologi
dakwah ibarat motor, maka ilmu dakwah sebagai kendaraan beserta komponent-komponentnya,
dan fiqih dakwah merupakan jala beserta rambu-rambunya. Dengan kata lain, agar
bersemangat dalam berdakwah kita mesti belajar teologi dakwah, untuk menemukan
strategi dakwah kita belajar ilmu dakwah, dan supaya dakwah kita terarah dengan
benar dibutuhkan fiqih dakwah.[13]
[1] Ali aziz, fiqih
dakwah edisi revisi, (Jakarta : kencana pranada media, cet 2, 2009),
halaman 157
[2] Ibid. hal 138
[3]
Ali aziz, fiqihi dakwah edisi revisi, (Jakarta : kencana pranada media,
cet 2, 2009), 140
[4] Hikmah: ialah
Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan
yang bathil
[5]
Al-hidayah
al-quran terjemah, (banten : penerbit kalim, 2010). QS. Al-maidah 67
[6] Maksudnya: tak
seorangpun yang dapat membunuh Nabi Muhammad s.a.w.
[7] Ali aziz, fiqihi
dakwah edisi revisi, (Jakarta : kencana pranada media, cet 2, 2009),
halaman 148
[8]
Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar
ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.
[9]
Al-hidayah
al-quran terjemah, (banten : penerbit kalim, 2010). QS. Al-imron 104
[10]
Al-hidayah
al-quran terjemah, (banten : penerbit kalim, 2010)QS. Ali imron : 110
[11] Ali aziz, fiqihi
dakwah edisi revisi, (Jakarta : kencana pranada media, cet 2, 2009), hal
153
[12] Ali aziz, fiqihi
dakwah edisi revisi, (Jakarta : kencana pranada media, cet 2, 2009), hal
155
[13]
Ibid 160
0 komentar:
Posting Komentar